- Anemia Pada Kehamilan
Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin
didalam sirkulasi darah. Kadar hemoglobin kurang dari 12 gram/dl untuk wanita tidak hamil
dan kurang dari 11 gram/dl untuk wanita hamil (Varney, 2006). Anemia pada kehamilan adalah
suatu keadaan dimana terjadi kekurangan darah merah dan menurunnya hemoglobin kurang dari
11 gr/dl. Pada trimester I dan III kadar Hemoglobin kurang dari 11 gr/dl, pada trimester II kadar
hemoglobin kurang dari 10,5 gr/dl. Pada ibu hamil anemia yang sering terjadi yaitu anemia
defisiensi besi, defisiensi asam folat (Tarwoto, 2007). Di Indonesia anemia pada kehamilan
umumnya anemia defisiensi besi, yaitu anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam
tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritroposis tidak mencukupi.
didalam sirkulasi darah. Kadar hemoglobin kurang dari 12 gram/dl untuk wanita tidak hamil
dan kurang dari 11 gram/dl untuk wanita hamil (Varney, 2006). Anemia pada kehamilan adalah
suatu keadaan dimana terjadi kekurangan darah merah dan menurunnya hemoglobin kurang dari
11 gr/dl. Pada trimester I dan III kadar Hemoglobin kurang dari 11 gr/dl, pada trimester II kadar
hemoglobin kurang dari 10,5 gr/dl. Pada ibu hamil anemia yang sering terjadi yaitu anemia
defisiensi besi, defisiensi asam folat (Tarwoto, 2007). Di Indonesia anemia pada kehamilan
umumnya anemia defisiensi besi, yaitu anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam
tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritroposis tidak mencukupi.
- Patofisiologi Anemia Pada Kehamilan
Perubahan hermatologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena perubahan sirkulasi
yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan payudara. Volume plasma
meningkat 45-65% dimulai pada trimester II kehamilan dan maksimum terjadi pada bulan
ke-9 dan meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang atern serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti
laktogen plasma, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron (Rukiah, 2010).
yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan payudara. Volume plasma
meningkat 45-65% dimulai pada trimester II kehamilan dan maksimum terjadi pada bulan
ke-9 dan meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang atern serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti
laktogen plasma, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron (Rukiah, 2010).
Selama kehamilan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat sekitar 800-1000 mg
untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel darah merah membutuhkan
300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada usia kehamilan 32 minggu,
janin membutuhkan zat besi sekitar 100-200 mg dan sekitar 190 mg terbuang selama
melahirkan.
Dengan demikian jika cadangan zat besi sebelum kehamilan berkurang maka pada saat
hamil pasien dengan mudah mengalami kekurangan zat besi (Riswan, 2003).
untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel darah merah membutuhkan
300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada usia kehamilan 32 minggu,
janin membutuhkan zat besi sekitar 100-200 mg dan sekitar 190 mg terbuang selama
melahirkan.
Dengan demikian jika cadangan zat besi sebelum kehamilan berkurang maka pada saat
hamil pasien dengan mudah mengalami kekurangan zat besi (Riswan, 2003).
Gangguan pencernaan dan absorbs zat besi bisa menyebabkan seseorang mengalami
anemia defisiensi besi. Walaupun cadangan zat besi didalam tubuh mencukupi dan asupan
nutrisi dan zat besi yang adikuat tetapi bila pasien mengalami gangguan pencernaan maka
zat besi tersebut tidak bisa diabsorbsi dan dipergunakan oleh tubuh (Riswan, 2003).
anemia defisiensi besi. Walaupun cadangan zat besi didalam tubuh mencukupi dan asupan
nutrisi dan zat besi yang adikuat tetapi bila pasien mengalami gangguan pencernaan maka
zat besi tersebut tidak bisa diabsorbsi dan dipergunakan oleh tubuh (Riswan, 2003).
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan keseimbangan zat besi yang
negatif, jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.
Pertama-tama untuk mengatasi keseimbanganyang negatif ini tubuh menggunakan cadangan
besi dalam jaringan cadangan. Pada saat cadangan besi itu habis barulah terlihat tanda
dan gejala anemia defisiensi besi (Riswan, 2003).
negatif, jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.
Pertama-tama untuk mengatasi keseimbanganyang negatif ini tubuh menggunakan cadangan
besi dalam jaringan cadangan. Pada saat cadangan besi itu habis barulah terlihat tanda
dan gejala anemia defisiensi besi (Riswan, 2003).
Berkembangnya anemia dapat melalui empat tingkatan yang masing-masing berkaitan dengan
ketidaknormalan indikator hematologis tertentu. Tingkatan pertama disebut dengan kurang
besi laten yaitu suatu keadaan dimana banyaknya cadangan besi yang berkurang dibawah
normal namun besi didalam sel darah merah dari jaringan tetap masih normal.
Tingkatan kedua disebut anemia kurang besi dini yaitu penurunan besi cadangan terus
berlangsung sampai atau hampir habis tetapi besi didalam sel darah merah dan jaringan
belum berkurang. Tingkatan ketiga disebut dengan anemia kurang besi lanjut yaitu besi
didalam sel darah merah sudah mengalami penurunan namun besi dan jaringan belum berkurang.
Tingkatan keempat disebut dengan kurang besi dalam jaringan yaitu besi dalam jaringan sudah
berkurang atau tidak ada sama sekali (Kusharto, 1992).
ketidaknormalan indikator hematologis tertentu. Tingkatan pertama disebut dengan kurang
besi laten yaitu suatu keadaan dimana banyaknya cadangan besi yang berkurang dibawah
normal namun besi didalam sel darah merah dari jaringan tetap masih normal.
Tingkatan kedua disebut anemia kurang besi dini yaitu penurunan besi cadangan terus
berlangsung sampai atau hampir habis tetapi besi didalam sel darah merah dan jaringan
belum berkurang. Tingkatan ketiga disebut dengan anemia kurang besi lanjut yaitu besi
didalam sel darah merah sudah mengalami penurunan namun besi dan jaringan belum berkurang.
Tingkatan keempat disebut dengan kurang besi dalam jaringan yaitu besi dalam jaringan sudah
berkurang atau tidak ada sama sekali (Kusharto, 1992).
- Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Kehamilan
Anemia pada kehamilan yang terjadi pada trimester pertama sampai ketiga dapat dipengaruhi
oleh faktor - faktor sebagai berikut:
- Status gizi ibu pada saat hamil mempengaruhi berat badan janin dalam
kandungan, apabila status gizi buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan akan
menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), disamping itu akan mengakibatkan terhambatnya
janin, anemia pada bayi baru lahir. Bayi baru lahir akan mudah terkena infeksi (Supariasa, 2001).
Asupan gizi sangat menentukan kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Kebutuhan gizi
pada masa kehamilan akan meningkat sebesar 15 % dibandingkan dengan kebutuhan wanita
normal, peningkatan gizi untuk (mammae), volume darah ,plasenta,air ketuban dan pertumbuhan
janin. Makanan yang dikomsumsi ibu hamil akan digunakan untuk pertumbuhan janin sebesar
40% dan sisanya 60% digunakan untuk pertumbuhan ibunya. Secara normal ibu hamil akan
mengalami kenaikan berat badan sebesar 11-13Kg.
Hal ini terjadi karena kebutuhan asupan makanan ibu hamil meningkat seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan (Huliana, 2001) Faktor umur ibu hamil berkontribusi terhadap
kejadian anemia selama hamil, Ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun masih membutuhkan
zat besi lebih untuk keperluan kebutuhan pertumbuhan diri sendiri dan juga untuk janinnya.
Oleh karena itu, hamil di usia 20 tahun dengan asupan gizi yang tidak adekuat memiliki resiko
anemia defisiensi besi penelitian Nelwanti (2005) menemukan bahwa ibu hamil yang menderita
anemia paling bayak pada usia resiko yaitu kurang dari 20 tahun sebesar 58% (Nelwanti, 2005).
Paritas secara luas mencakup gravid/jumlah kehamilan yaitu kehamilan yang berulang atau jumlah
partus yang banyak lebih meningkat kejadian anemia akibat banyaknya darah yang keluar selama
proses persalinan, angka kejadian pada kehamilan makin tinggi dengan semakin tingginya paritas
(Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
oleh faktor - faktor sebagai berikut:
- Status gizi ibu pada saat hamil mempengaruhi berat badan janin dalam
kandungan, apabila status gizi buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan akan
menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), disamping itu akan mengakibatkan terhambatnya
janin, anemia pada bayi baru lahir. Bayi baru lahir akan mudah terkena infeksi (Supariasa, 2001).
Asupan gizi sangat menentukan kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Kebutuhan gizi
pada masa kehamilan akan meningkat sebesar 15 % dibandingkan dengan kebutuhan wanita
normal, peningkatan gizi untuk (mammae), volume darah ,plasenta,air ketuban dan pertumbuhan
janin. Makanan yang dikomsumsi ibu hamil akan digunakan untuk pertumbuhan janin sebesar
40% dan sisanya 60% digunakan untuk pertumbuhan ibunya. Secara normal ibu hamil akan
mengalami kenaikan berat badan sebesar 11-13Kg.
Hal ini terjadi karena kebutuhan asupan makanan ibu hamil meningkat seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan (Huliana, 2001) Faktor umur ibu hamil berkontribusi terhadap
kejadian anemia selama hamil, Ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun masih membutuhkan
zat besi lebih untuk keperluan kebutuhan pertumbuhan diri sendiri dan juga untuk janinnya.
Oleh karena itu, hamil di usia 20 tahun dengan asupan gizi yang tidak adekuat memiliki resiko
anemia defisiensi besi penelitian Nelwanti (2005) menemukan bahwa ibu hamil yang menderita
anemia paling bayak pada usia resiko yaitu kurang dari 20 tahun sebesar 58% (Nelwanti, 2005).
Paritas secara luas mencakup gravid/jumlah kehamilan yaitu kehamilan yang berulang atau jumlah
partus yang banyak lebih meningkat kejadian anemia akibat banyaknya darah yang keluar selama
proses persalinan, angka kejadian pada kehamilan makin tinggi dengan semakin tingginya paritas
(Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
Penelitian Sidabuke (2003) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan anemia pada ibu hamil
dengan paritas ≥ 5 sebesar 36,23%. Jarak antara kehamilan yang pendek (kurang dari 2 tahun)
mempunyai resiko untuk menderita anemia menurut anjuran yang dikeluarkan oleh badan
koordinasi keluarga berencana (BKKBN) jarak kelahiran yang ideal adalah 2 tahun atau lebih
karena jarak kelahiran yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup untuk
memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Maka semakin pendek jarak
kehamilan resiko terjadi anemia makin meningkat (Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
dengan paritas ≥ 5 sebesar 36,23%. Jarak antara kehamilan yang pendek (kurang dari 2 tahun)
mempunyai resiko untuk menderita anemia menurut anjuran yang dikeluarkan oleh badan
koordinasi keluarga berencana (BKKBN) jarak kelahiran yang ideal adalah 2 tahun atau lebih
karena jarak kelahiran yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup untuk
memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Maka semakin pendek jarak
kehamilan resiko terjadi anemia makin meningkat (Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
Faktor yang menggambarkan tingkat sosio ekonomi salah satunya adalah tingkat pendidikan
dan pekerjaan. Tingkat sosio ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi kejadian anemia.
Angka kejadian anemia pada ibu-ibu dengan kelompok pekerjaan suami
(petani, nelayan, pekerja lepas) lebih tinggi dari kelompok pekerjaan suami
(pegawai negeri, swasta dan dagang). Hal ini mencakup kemampuan dalam hal membeli
dan memenuhi makanan bergizi dan suplemen tambahan yang dibutuhkan pada saat hamil
(Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
dan pekerjaan. Tingkat sosio ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi kejadian anemia.
Angka kejadian anemia pada ibu-ibu dengan kelompok pekerjaan suami
(petani, nelayan, pekerja lepas) lebih tinggi dari kelompok pekerjaan suami
(pegawai negeri, swasta dan dagang). Hal ini mencakup kemampuan dalam hal membeli
dan memenuhi makanan bergizi dan suplemen tambahan yang dibutuhkan pada saat hamil
(Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
Ibu hamil yang berpendidikan rendah menderita anemia sebanyak 60%, sedangkan ibu hamil
yang berpendidikan tinggi menderita sebanyak 17,4% (Fishkar dkk, 1993 dalam Nelwanti, 2004).
yang berpendidikan tinggi menderita sebanyak 17,4% (Fishkar dkk, 1993 dalam Nelwanti, 2004).
Pemeriksaan Antenatal Care, pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan dan
pemeriksaan terhadap keadaan anemia pada ibu hamil sehingga apabila ibu menderita gejala
anemia dapat dideteksi sedini mungkin dengan pemeriksaan antenatal yang secara teratur untuk
diberi penanganan segera. Pada pemeriksaan ini tablet penambahan darah (tablet Fe) juga
diberikan pada ibu yang tidak mengalami anemia untuk mencegah terjadinya anemia. Pada
beberapa penelitian yang sudah dilakukan bahwa jumlah penderita semakin menurun pada
kelompok yang sering mengunjungi klinik antenatal dan meningkat pada kelompok yang tidak
melakukan pemeriksaan antenatal (Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
pemeriksaan terhadap keadaan anemia pada ibu hamil sehingga apabila ibu menderita gejala
anemia dapat dideteksi sedini mungkin dengan pemeriksaan antenatal yang secara teratur untuk
diberi penanganan segera. Pada pemeriksaan ini tablet penambahan darah (tablet Fe) juga
diberikan pada ibu yang tidak mengalami anemia untuk mencegah terjadinya anemia. Pada
beberapa penelitian yang sudah dilakukan bahwa jumlah penderita semakin menurun pada
kelompok yang sering mengunjungi klinik antenatal dan meningkat pada kelompok yang tidak
melakukan pemeriksaan antenatal (Hasibuan, 1997 dalam Sidabuke, 2003).
- Pengaruh Anemia Dalam Kehamilan
Pengaruh anemia kehamilan pada ibu dapat menyebabkan resiko dan komplikasi antara lain:
anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit
infeksi (Lubis, 2003). Resiko meninggal dalam proses persalinan 3,6 kali lebih besar di banding
ibu hamil yang tidak anemia (Chi et al, 1981 dalam Riswan, 2003) terutama karena pendarahan
dan atau sepsis. Dari beberapa penelitian di Asia disimpulkan bahwa anemia memberikan
kontribusi minimal 23% dari total kematian ibu di Asia (Ross & Thomas dalam Lubis, 2003).
Pada saat proses persalinan, masalah yang timbul adalah persalinan sebelum waktunya
(prematur), pendarahan setelah persalinan dengan operasi cenderung meningkat
(Lubis, 2003). Anemia pada ibu hamil juga mempengaruhi proses pertumbuhan janin.
Akibat yang ditimbulkan seperti keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal,
cacat bawaan, anemia pada bayi asfiksia intrapartum (mati dalam kandungan), lahir dengan
berat badan rendah (BBLR) (Lubis, 2003). Hal penelitian Lubis (2003) pada analisa bivariat
anemia batas 9 gr/dl dan anemia berat secara statistik tidak ditemukan nyata melahirkan bayi
BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mempunyai resiko 3,081 kali. Sedangkan dari hasil
analisa multivariate dengan memperhatikan masalah riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan
bahwa ibu hamil penderita anemia berat memperoleh resiko untuk melahirkan BBLR 4,2 kali
lebih tinggi disbanding dengan yang tidak penderita anemia berat. Lee (2006) tentang status besi
dan dihubungkan dengan hasil kehamilan pada wanita hamil di Korea menjelaskan bahwa bayi
yang dilahirkan dari ibu yang kadar Hb rendah menunjukkan rata-rata lahir dengan
kelahiran prematur, berat badan dan nilai APGAR yang rendah dibandingkan dengan bayi
yang lahir dengan ibu yang memiliki tingkat Hb yang tinggi.
anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit
infeksi (Lubis, 2003). Resiko meninggal dalam proses persalinan 3,6 kali lebih besar di banding
ibu hamil yang tidak anemia (Chi et al, 1981 dalam Riswan, 2003) terutama karena pendarahan
dan atau sepsis. Dari beberapa penelitian di Asia disimpulkan bahwa anemia memberikan
kontribusi minimal 23% dari total kematian ibu di Asia (Ross & Thomas dalam Lubis, 2003).
Pada saat proses persalinan, masalah yang timbul adalah persalinan sebelum waktunya
(prematur), pendarahan setelah persalinan dengan operasi cenderung meningkat
(Lubis, 2003). Anemia pada ibu hamil juga mempengaruhi proses pertumbuhan janin.
Akibat yang ditimbulkan seperti keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal,
cacat bawaan, anemia pada bayi asfiksia intrapartum (mati dalam kandungan), lahir dengan
berat badan rendah (BBLR) (Lubis, 2003). Hal penelitian Lubis (2003) pada analisa bivariat
anemia batas 9 gr/dl dan anemia berat secara statistik tidak ditemukan nyata melahirkan bayi
BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mempunyai resiko 3,081 kali. Sedangkan dari hasil
analisa multivariate dengan memperhatikan masalah riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan
bahwa ibu hamil penderita anemia berat memperoleh resiko untuk melahirkan BBLR 4,2 kali
lebih tinggi disbanding dengan yang tidak penderita anemia berat. Lee (2006) tentang status besi
dan dihubungkan dengan hasil kehamilan pada wanita hamil di Korea menjelaskan bahwa bayi
yang dilahirkan dari ibu yang kadar Hb rendah menunjukkan rata-rata lahir dengan
kelahiran prematur, berat badan dan nilai APGAR yang rendah dibandingkan dengan bayi
yang lahir dengan ibu yang memiliki tingkat Hb yang tinggi.
- Diagnosis Anemia Pada Kehamilan
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dari anemia pada kehamilan yang disebabkan karena kekurangan zat besi
sangat bervariasi walaupun tanpa gejala, anemia dapat menyebabkan tanda gejala seperti letih,
sering mengantuk, malaise, pusing, lemah, nyeri kepala, luka pada lidah, kulit pucat,
konjungtiva, bantalan kuku pucat, tidak ada nafsu makan, mual dan muntah (Varney, 2006).
Menentukan seseorang mengalami anemia melalui pemeriksaan fisik sangatlah sulit karena
banyak pasien yang asintomatis. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan anemia pasti.
sangat bervariasi walaupun tanpa gejala, anemia dapat menyebabkan tanda gejala seperti letih,
sering mengantuk, malaise, pusing, lemah, nyeri kepala, luka pada lidah, kulit pucat,
konjungtiva, bantalan kuku pucat, tidak ada nafsu makan, mual dan muntah (Varney, 2006).
Menentukan seseorang mengalami anemia melalui pemeriksaan fisik sangatlah sulit karena
banyak pasien yang asintomatis. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan anemia pasti.
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter yang dingunakan secara luas untuk
menetapkan prevalensi anemia (Nyoman, 2002). Keuntungan metode pemeriksaan Hb adalah
mudah, sederhana dan penting bila kekurangan besi tinggi, seperti pada kehamilan sedangkan
keterbatasan pemeriksaan Hb adalah spesifitasnya kurang yaitu sekitar 65- 99% dan
sensifitasnya 80-90% (Riswan, 2003).
Anemia pada ibu hamil berdasarkan pemeriksaan dan pengawasan Hb dengan Sahli dapat
digolongkan berdasarkan berat ringannya terbagi menjadi : anemia berat jika Hb 7gr %, anemia
sedang jika kadar Hb antara 7 sampai 8 gr % dan bila anemia ringan jika kadar Hb antara
9 sampai 10 gr % (Manuaba, 2001). Metode yang paling sering digunakan di laboratorium
dan paling sederhana adalah metode Sahli dan sampai saat ini baik di Puskesmas maupun
di beberapa Rumah sakit. Pada metode sahli, hemoglobin dihidrolisis dibentuk dengan HCL
menjadi forroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang segera
bereaksi dengan ion CL membentuk Ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin
yang berwarna coklat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standard, karena
membandingkan pengamatan dengan mata secara langsung tanpa menggunakan alat, maka
subjektivitas hasil pemeriksaan sangat berpengaruh hasil pembacaan (Supariasa dkk, 2001).
menetapkan prevalensi anemia (Nyoman, 2002). Keuntungan metode pemeriksaan Hb adalah
mudah, sederhana dan penting bila kekurangan besi tinggi, seperti pada kehamilan sedangkan
keterbatasan pemeriksaan Hb adalah spesifitasnya kurang yaitu sekitar 65- 99% dan
sensifitasnya 80-90% (Riswan, 2003).
Anemia pada ibu hamil berdasarkan pemeriksaan dan pengawasan Hb dengan Sahli dapat
digolongkan berdasarkan berat ringannya terbagi menjadi : anemia berat jika Hb 7gr %, anemia
sedang jika kadar Hb antara 7 sampai 8 gr % dan bila anemia ringan jika kadar Hb antara
9 sampai 10 gr % (Manuaba, 2001). Metode yang paling sering digunakan di laboratorium
dan paling sederhana adalah metode Sahli dan sampai saat ini baik di Puskesmas maupun
di beberapa Rumah sakit. Pada metode sahli, hemoglobin dihidrolisis dibentuk dengan HCL
menjadi forroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang segera
bereaksi dengan ion CL membentuk Ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin
yang berwarna coklat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standard, karena
membandingkan pengamatan dengan mata secara langsung tanpa menggunakan alat, maka
subjektivitas hasil pemeriksaan sangat berpengaruh hasil pembacaan (Supariasa dkk, 2001).
- Penatalaksanaan Anemia
Pada Kehamilan Ada sejumlah kasus anemia dapat memperburuk kehamilan, apabila hasil
pengkajian riwayat atau uji laboratorium menunjukkan kelainan maka perlu mengevaluasi
wanita tersebut untuk menentukan etiologi anemian dan kemudian menyusun rencana
penatalaksanaan (Varney, 2006). Oleh karena itu perlu segera dilakukan terapi anemia dengan
tujuan untuk mengoreksi kurangnya massa hemoglobin dan mengembalikan simpanan besi.
Pada saat hamil kebutuhan tubuh ibu terhadap besi meningkat untuk memenuhi kebutuhan fetal,
plasenta dan pertambahan massa eritrosit. Bila cadangan besi ibu tidak mencukupi pada waktu
belum dan sesudah kehamilan serta asupan gizi yang tidak adikuat selama kehamilan maka
mengakibatkan ibu mengalami anemia defesiensi besi. Oleh karena itu perlu segera dilakukan
terapi anemia dengan tujuan untuk mengoreksi kurangnya massa hemoglobin dan mengembalikan
simpanan besi. Terapi yang dilakukan yaitu:
pengkajian riwayat atau uji laboratorium menunjukkan kelainan maka perlu mengevaluasi
wanita tersebut untuk menentukan etiologi anemian dan kemudian menyusun rencana
penatalaksanaan (Varney, 2006). Oleh karena itu perlu segera dilakukan terapi anemia dengan
tujuan untuk mengoreksi kurangnya massa hemoglobin dan mengembalikan simpanan besi.
Pada saat hamil kebutuhan tubuh ibu terhadap besi meningkat untuk memenuhi kebutuhan fetal,
plasenta dan pertambahan massa eritrosit. Bila cadangan besi ibu tidak mencukupi pada waktu
belum dan sesudah kehamilan serta asupan gizi yang tidak adikuat selama kehamilan maka
mengakibatkan ibu mengalami anemia defesiensi besi. Oleh karena itu perlu segera dilakukan
terapi anemia dengan tujuan untuk mengoreksi kurangnya massa hemoglobin dan mengembalikan
simpanan besi. Terapi yang dilakukan yaitu:
Diet kaya zat besi dan Nutrisi yang adekuat.
Diet yang dianjurkan pada pasien yang anemia adalah diet kaya zat besi. Pada dasarnya zat besi
dari makanan didapat dalam dua bentuk yaitu zat besi heme (yang didapati pada hati, daging, ikan)
zat besi non heme (yang didapati pada padi-padian, buncis, kacang polong yang dikeringkan,
buah-buahan dan sayuran berwarna hijau seperti bayam, daun ubi dan kangkung).
Zat besi heme menyumbangkan sejumlah kecil zat besi (hanya sekitar 10-15%).
Namun demikian zat besi heme diserap dengan baik dimana 10-35% yang di makan
akan masuk kedalam peredaran darah. Zat besi non heme atau zat besi yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan merupakan bagian terbesar yang dikonsumsi sehari-hari, namun diserap
dengan buruk (hanya sekitar 2-8%) (Tan, 1996).
Makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi seperti the dan kopi sebaiknya dihindari.
Sedangkan makanan yang mengandung vitamin C seperti buahbuahan sebaiknya diberikan
untuk membantu peningkatan penyerapan zat besi (Riswan, 2003). 1.6.2. Pemberian zat besi
oral Preparat zat besi oral yang biasa diberikan pada ibu hamil adalah : Ferrous sulfonat, glukonat
dan fumarat. Prinsip pemberian terapi zat besi oral ini tidak hanya untuk mencapai nilai
hemoglobin yang normal tetapi juga memperbaiki cadangan besi didalam tubuh.
Cara pemberian zat besi oral ini berbeda-beda pendapat.
Maurer menganjurkan pemberian zat besi selama 2-3 bulan setelah hemoglobin menjadi normal.
Beutler mengemukakan bahwa yang penting dalam pengobatan dengan zat besi adalah agar
pemberiannya terus dilakukan sampai morfologi darah tepi menjadi normal dan cadangan besi
dalam tubuh terpenuhi. Pendapat yang lain mengatakan biasanya dalam 4-6 minggu
perawatan hematokrit meningkat sampai nilai yang diharapkan,
peningkatan biasanya dimulai minggu kedua. Peningkatan retikulosit 5-10 hari setelah pemberian terapi besi bisa memberikan bukti awal untuk peningkatan produksi
sel darah merah.
dari makanan didapat dalam dua bentuk yaitu zat besi heme (yang didapati pada hati, daging, ikan)
zat besi non heme (yang didapati pada padi-padian, buncis, kacang polong yang dikeringkan,
buah-buahan dan sayuran berwarna hijau seperti bayam, daun ubi dan kangkung).
Zat besi heme menyumbangkan sejumlah kecil zat besi (hanya sekitar 10-15%).
Namun demikian zat besi heme diserap dengan baik dimana 10-35% yang di makan
akan masuk kedalam peredaran darah. Zat besi non heme atau zat besi yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan merupakan bagian terbesar yang dikonsumsi sehari-hari, namun diserap
dengan buruk (hanya sekitar 2-8%) (Tan, 1996).
Makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi seperti the dan kopi sebaiknya dihindari.
Sedangkan makanan yang mengandung vitamin C seperti buahbuahan sebaiknya diberikan
untuk membantu peningkatan penyerapan zat besi (Riswan, 2003). 1.6.2. Pemberian zat besi
oral Preparat zat besi oral yang biasa diberikan pada ibu hamil adalah : Ferrous sulfonat, glukonat
dan fumarat. Prinsip pemberian terapi zat besi oral ini tidak hanya untuk mencapai nilai
hemoglobin yang normal tetapi juga memperbaiki cadangan besi didalam tubuh.
Cara pemberian zat besi oral ini berbeda-beda pendapat.
Maurer menganjurkan pemberian zat besi selama 2-3 bulan setelah hemoglobin menjadi normal.
Beutler mengemukakan bahwa yang penting dalam pengobatan dengan zat besi adalah agar
pemberiannya terus dilakukan sampai morfologi darah tepi menjadi normal dan cadangan besi
dalam tubuh terpenuhi. Pendapat yang lain mengatakan biasanya dalam 4-6 minggu
perawatan hematokrit meningkat sampai nilai yang diharapkan,
peningkatan biasanya dimulai minggu kedua. Peningkatan retikulosit 5-10 hari setelah pemberian terapi besi bisa memberikan bukti awal untuk peningkatan produksi
sel darah merah.
Sebelum dilakukan pengobatan harus dikalkulasikan terlebih dahulu jumlah zat besi yang
dibutuhkan. Misalnya hemoglobin sebelumnya adalah 6 gr/dl, maka kekurangan hemoglobin
adalah 12 – 6 = 6gr/dl, sehingga kebutuhan zat besi adalah : 6 x 200 mg.
kebutuhan besi untuk mengisi cadangan adalah 500 mg, maka dosis Fe secara keseluruhan
adalah 1200 + 500 = 1700 mg. maka pemberian dapat berupa Fero sulfat : 3 tablet / hari, @ 300 mg mengandung 600 mg Fe atau Fero glukonat: 5 tablet/hari, @ 300 mg mengandung 37 mg Fe
atau bisa juga Fero Fumarat : 3 tablet / hari, @ 200 mg mengandung 67 mg Fe.
Maka respon hasil yang tercapai adalah Hb meningkat 0,3-1 gr perminggu.
Pemberian zat besi oral ini juga member efek samping berupa konstipasi, berak hitam,
mual dan muntah (Riswan, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian Werdiningsih Tahun 2001 di Yogyakarta, melaporkan bahwa
ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe kurang dari 90 tablet selama kehamilan mempunyai
resiko 2 kali menderita anemia kkurangan zat besi dibandingkan dengan ibu hamil yang
mengkonsumsi lebih dari 90 tablet.
dibutuhkan. Misalnya hemoglobin sebelumnya adalah 6 gr/dl, maka kekurangan hemoglobin
adalah 12 – 6 = 6gr/dl, sehingga kebutuhan zat besi adalah : 6 x 200 mg.
kebutuhan besi untuk mengisi cadangan adalah 500 mg, maka dosis Fe secara keseluruhan
adalah 1200 + 500 = 1700 mg. maka pemberian dapat berupa Fero sulfat : 3 tablet / hari, @ 300 mg mengandung 600 mg Fe atau Fero glukonat: 5 tablet/hari, @ 300 mg mengandung 37 mg Fe
atau bisa juga Fero Fumarat : 3 tablet / hari, @ 200 mg mengandung 67 mg Fe.
Maka respon hasil yang tercapai adalah Hb meningkat 0,3-1 gr perminggu.
Pemberian zat besi oral ini juga member efek samping berupa konstipasi, berak hitam,
mual dan muntah (Riswan, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian Werdiningsih Tahun 2001 di Yogyakarta, melaporkan bahwa
ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe kurang dari 90 tablet selama kehamilan mempunyai
resiko 2 kali menderita anemia kkurangan zat besi dibandingkan dengan ibu hamil yang
mengkonsumsi lebih dari 90 tablet.
Pemberian zat besi par-enteral
Metode sederahana 250 mg besi elemental sebanding dengan 1 gram Hb. pemberian zat besi
secara parenteral jarang dilakukan karena mempunyai efek samping yang banyak seperti; nyeri,
inflamasi, phlebitis ,demam,atralgia, hipotensi,dan reaksi analfilaktik. Indikasi dari pemberian
parenteral yaitu anemia devfisiensi berat ,mempunyai efek samping pada pemberian oral ,
gangguan absorbs.mempunyai efek samping pada pemberian oral ,gangguan adsorbsi .
pemberiannya dapat diberikan secara intramuscular maupun intravena ( Riswan,2003)
secara parenteral jarang dilakukan karena mempunyai efek samping yang banyak seperti; nyeri,
inflamasi, phlebitis ,demam,atralgia, hipotensi,dan reaksi analfilaktik. Indikasi dari pemberian
parenteral yaitu anemia devfisiensi berat ,mempunyai efek samping pada pemberian oral ,
gangguan absorbs.mempunyai efek samping pada pemberian oral ,gangguan adsorbsi .
pemberiannya dapat diberikan secara intramuscular maupun intravena ( Riswan,2003)
Sumber : http://repository.usu.ac.id